
Dahlan Iskan ketika dipanggil Presiden SBY untuk diangkat sebagai Menteri BUMN (detik.com)
Kalau di
bidang sepakbola Eric Samola kurang suka Dahlan Iskan terjun ke sana,
sebaliknya dengan dunia politik. Eric Samola yang waktu itu adalah
Bendahara Umum Golkar Pusat malah mendorong agar Dahlan Iskan juga
terjun ke dunia politik (dengan bekingannya). Padahal
Dahlan sebenarnya tidak suka dengan dunia politik. Ikut Pemilu saja
tidak pernah. Bukan mau jadi golput, tetapi memang tidak mau ambil
pusing soal itu.
Tetapi
mau tidak mau Eric Samola yang waktu itu termasuk salah satu tokoh
penting Golkar malah “memaksa” Dahlan untuk masuk ke dalam dunia
politik. Dia bahkan punya cita-cita untuk terus mendorong karier “anak
kesayangannya” itu di dunia ini, agar kelak bisa punya kedudukan penting
seperti dia. Kalau bisa, melebihinya.
Waktu kemudian membuktikan, di dunia bisnis media prestasi Dahlan
Iskan sudah melebihi prestasi yang pernah dicapai oleh almahum Eric
Samola yang waktu itu dipercaya oleh Ir. Ciputra untuk memimpinbeberapa
perusahaan miliknya. Salah satunya adalah PT Grafiti Pers, yang
menerbitkan majalah Tempo, dan kemudian membeli Jawa Pos itu.
Sedangkan
meskipun Dahlan Iskan tidak pernah lagi terjun di dunia politik setelah
pernah berhasil “dipaksa” Eric Samola untuk itu, ketika Dahlan Iskan
dipercaya oleh Presiden SBY menjadi Dirut PLN, bisa dikatakan prestasi
Dahlan sudah melebihi “ayah angkat”-nya itu. Apalagi sekarang dia telah
dipercayai oleh SBY untuk duduk di jabatan yang lebih tinggi lagi:
Menteri BUMN. Seandainya Eric Samola masih hidup, tentu dia sangat
merasa bangga menyaksikan prestasi luar biasa dari seorang Dahlan Iskan
yang telah ikut bersamanya di Jawa Pos sejak mulai dari benar-benar nol sampai menjadi seperti sekarang ini.
Ketika
Dahlan Iskan dipanggil oleh Ketua Golkar Jawa Timur waktu itu, Mohammad
Said untuk diminta menjadi anggota MPR dari Golkar, Dahlan pun merasa
yakin ini pasti kerjanya Eric Samola, yang sebelumnya memang sering
mendorongnya untuk terjun di dunia politik.
Pada
waktu itu ketika seorang pejabat tinggi dari Golkar seperti Mohammad
Said ini mengatakan “meminta” itu sama saja dengan “memerintah.” Dahlan
yang sebetulnya tidak suka dunia politik pun sempat mengelak dengan
alasan bahwa dia tidak punya kartu pemilih (sebagai salah satu syarat
untuk dipilih menjadi anggota MPR). Lagi pula waktu itu waktunya sudah
tidak memungkinkan, karena batas waktu pendaftaran telah lewat, bahkan
daftar pemilih telah diumumkan.
Tapi itu
bukan sesuatu alasan atau keadaan yang bisa menghalangi kehendak
Mohammad Said supaya Dahlan Iskan mau menjadi anggota MPR dari Golkar.
Semua itu bisa diatasi. Semua itu bisa diatur. Tidak ada orang yang
berani membantah apalagi melawan seorang pejabat tinggi Golkar seperti
Mohammad Said di era Orde Baru itu.
Tidak
lama kemudian secara “ajaib” Dahlan sudah punya kartu pemilih. Muncul
formulir pemilih atasnamanya yang menyatakan bahwa dia terdaftar sebagai
pemilih di Bangkalan, Madura, yang pindah ke Surabaya. “Rupanya,” kata
Dahlan, “Sejak dulu Bangkalan sudah menjadi sumber kecurangan Pemilu”.
Ketika
Dahlan masih saja tetap enggan, karena merasa sangat sungkan dengan
kader-kader Golkar lainnya yang mungkin sudah lama punya ambisi menjadi
anggota MPR, kok dia tiba-tiba “nyelonong”, Mohammad
Said membesarkan hatinya dengan mengatakan, “Ini bukan Dik Dahlan yang
minta pada Golkar, tapi Golkar yang minta ke Dik Dahlan.” Perkataan itu
diucapkan di depan para kader Golkar, membuat Dahlan merasa lega. Maka,
jadilah Dahlan Iskan anggota MPR dari Golongan Karya.
Dahlan
Iskan mengakui bahwa seperti anggota MPR lainnya, selama menjadi anggota
MPR dia sebetulnya tidak bekerja sama sekali. Hanya asal datang duduk
menghadiri sidang-sidang, karena toh semua keputusan akhir berada justru di luar gedung MPR, di Cendana.
Benarlah
anekdot sindiran terkenal di kala itu, bahwa anggota MPR dan DPR itu
hanyalah orang-orang yang punya “5D”. Yakni Datang, Duduk, Diam, Dengar,
Duit. Meskipun untuk Dahlan Iskan, saya yakin bukan begitu maunya.
Pada
waktu ada sidang di gedung MPR, Dahlan sering duduk di bagian belakang,
bersama anggota MPR lainnya yang juga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Fuad Hassan. Mereka hanya ngobrol-ngobrol dan guyon-guyonan. Fuad Hassan sering membuat kartun-kartun yang sangat lucu untuk kemudian diedarkan dari meja ke meja di belakang.
Pengalaman lainnya selama menjadi anggota MPR adalah pertama kali menerima surat dari MPR, dengan amplop dinas resmi
di rumahnya, Dahlan berpikir, wah, ternyata di MPR, akhirnya ada
panggilan tugas juga. Berarti ada kerja juga. Ternyata dia keliru.
Ketika amplop dibuka, surat tersebut isinya hanya memberitahu tentang
ada anggota MPR yang meninggal dunia, lengkap dengan namanya. Dahlan
tidak kenal nama itu.
Beberapa
bulan kemudian, datang lagi surat dari MPR. Ketika dibuka, eh, ternyata
berita tentang kematian anggota MPR lagi. Sejak saat itu Dahlan tidak
pernah lagi membuka surat yang datang dari MPR. Sampai suatu ketika ada
surat dari MPR yang tebal tidak seperti biasanya. Dahlan pun berpikir,
kalau kali ini pasti ada hal yang lebih serius daripada berita tentang
kematian anggota MPR. Setelah dibuka, ternyata sama saja. Berita
kematian anggota MPR. Hanya saja kali ini ada beberapa anggota yang
meninggal dunia dalam waktu yang hampir bersamaan. Jadi beritanya
dijadikan satu, maka itu amplopnya menjadi tebal. Sejak saat itu surat
apapun, bagaimana tebalnya sekalipun, yang datang dari MPR, Dahlan tidak
pernah membukanya. Sampai akhir masa jabatannya, memang ternyata tidak
ada kerja di MPR.
Untung
Dahlan Iskan “tidak keterusan” menjadi anggota MPR, atau menjadi
petinggi dalam jabatan politik lainnya. Kalau sampai begitu, bisa jadi,
dia akhirnya tertular juga virus-virus yang merusak jati dirinya,
seperti yang dialami banyak politikus. Baik yang dahulu sampai dengan
yang sekarang. Apalagi yang sekarang. Lebih-lebih lagi, untung sekali
tidak sampai menjadi bagian dari petinggi Partai Demokrat! ***
Sumber tulisan diolah dari:
- Warisan GO Samola, oleh Dahlan Iskan (Jaring Pena, 2009)
cpp: kompasiana
repost by plyword.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar